Iklan

Siti Walidah: Pahlawan Wanita Indonesia yang Karyanya Abadi dalam Pendidikan dan Kesejahteraan Aisyiyah

Senin, 21 April 2025, April 21, 2025 WIB Last Updated 2025-04-21T08:49:51Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

 


KUNINGAN, CIREMAIPOS.COM - Siti Walidah, yang lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, adalah tokoh emansipasi perempuan yang perjuangannya dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan Indonesia memiliki dampak monumental hingga saat ini. Lahir pada 3 Januari 1872 di Kauman, Yogyakarta, sebagai putri ulama terpandang Kyai Haji Muhammad Fadli, Siti Walidah tidak mendapatkan pendidikan formal karena norma sosial pada masa kolonial Belanda membatasi akses perempuan. Namun, semangatnya untuk menuntut ilmu agama dan kepekaannya terhadap ketertinggalan perempuan mendorongnya menjadi pelopor pendidikan perempuan melalui organisasi Aisyiyah. Meskipun namanya kurang dikenal dibandingkan pahlawan wanita lain seperti Kartini, kontribusinya dalam mendirikan ribuan institusi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial di bawah naungan Aisyiyah menjadi warisan abadi. Pada 10 November 1971, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden Nomor 042/TK/1971 atas jasa-jasanya di bidang pendidikan dan hak perempuan.


Perjuangan Siti Walidah dimulai dari kesadaran akan keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan pada masa kolonial. Bersama suaminya, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ia mendirikan kelompok pengajian wanita bernama Sopo Tresno pada 1914, yang menjadi cikal bakal Aisyiyah, resmi berdiri pada 19 Mei 1917 dengan Siti Walidah sebagai ketua pertamanya. Sopo Tresno awalnya fokus pada pengajaran agama Islam, khususnya ayat-ayat Al-Qur’an tentang hak dan kewajiban perempuan, untuk membangkitkan kesadaran perempuan sebagai mitra setara laki-laki. Dalam pengajian ini, ia mengajak remaja putri, ibu-ibu, hingga buruh batik untuk belajar membaca, mengaji, dan memahami nilai-nilai keislaman serta nasionalisme. Perjuangan ini penuh tantangan; Siti Walidah dan suaminya bahkan pernah menerima ancaman pembunuhan saat berdakwah di Banyuwangi karena pandangan mereka dianggap radikal oleh sebagian masyarakat konservatif.


Aisyiyah, di bawah kepemimpinan Siti Walidah, menjadi motor penggerak pendidikan perempuan di Indonesia. Pada 1919, Aisyiyah mendirikan sekolah taman kanak-kanak pertama di Indonesia bernama Frobel, yang kini dikenal sebagai Bustanul Athfal, menandai lahirnya pendidikan anak usia dini (PAUD) pribumi. Hingga saat ini, Aisyiyah telah mengelola 19.181 lembaga pendidikan PAUD/TK, termasuk Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dan Tempat Penitipan Anak (TPA), yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, Aisyiyah mendirikan ribuan sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan perguruan tinggi, seperti Universitas Aisyiyah. Total amal usaha pendidikan Aisyiyah mencapai kira-kira 24.000 lembaga, mencakup pendidikan formal, nonformal, dan keaksaraan fungsional, menjadikannya salah satu jaringan pendidikan terbesar di Indonesia.



Selain pendidikan, Siti Walidah memperluas kiprah Aisyiyah ke bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial. Pada 1923, Aisyiyah memelopori program pemberantasan buta huruf, mengajarkan baca-tulis huruf Arab dan Latin, yang merupakan langkah revolusioner untuk memberdayakan perempuan. Dalam bidang kesehatan, Aisyiyah telah mendirikan 87 rumah sakit umum, 16 rumah sakit ibu dan anak (RSIA), 70 rumah sakit bersalin, 106 balai pengobatan, 20 balai kesehatan masyarakat (balkesmas), 76 balai kesehatan ibu dan anak (BKIA), 105 rumah bersalin, serta ribuan posyandu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu contoh terbaru adalah peresmian Unit Gawat Darurat (UGD) Klinik Pratama Aisyiyah Sumedang pada 12 April 2025, yang menunjukkan komitmen Aisyiyah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.


Dalam bidang kesejahteraan sosial, Aisyiyah di bawah arahan Siti Walidah mendirikan panti asuhan, panti lansia, dan rumah aman bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hingga kini, Aisyiyah mengelola ribuan lembaga kesejahteraan sosial, termasuk 459 amal usaha sosial seperti panti asuhan, rumah singgah anak jalanan, dana santunan sosial, dan tim pengurus jenazah. Contoh konkrit adalah Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta, yang berdiri sejak 1921, serta peresmian Gedung Panti Asuhan Aisyiyah Pariaman pada 2022. Di Sulawesi Selatan saja, Aisyiyah memiliki belasan panti asuhan, seperti Panti Asuhan Bahagia Aisyiyah Makassar dan Panti Asuhan Sa’adatul Banaat Bulukumba. Jumlah panti asuhan terus bertambah, seiring perluasan program Aisyiyah untuk menampung anak yatim, piatu, dan dhuafa.


Meskipun memiliki kontribusi besar, nama Siti Walidah jarang diperingati secara luas di luar lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah. Berbeda dengan R.A. Kartini, yang diperingati setiap 21 April, Siti Walidah lebih dikenal di kalangan akademisi dan warga Muhammadiyah. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang rendah hati dan fokus pada kerja nyata ketimbang publisitas. Namun, keteguhannya melawan pandangan patriarki, seperti pepatah Jawa “Swargo Nunut, Neroko Katut” (surga mengikuti suami, neraka pun demikian), menunjukkan bahwa ia adalah pelopor sejati. Pada 1926, ia menjadi wanita pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, sebuah pencapaian luar biasa yang menginspirasi perempuan untuk terlibat dalam kepemimpinan.


Peran Siti Walidah juga terlihat dalam perjuangan nasional. Selama pendudukan Jepang (1942–1945), ketika Aisyiyah dilarang beroperasi, ia mengelola dapur umum untuk pejuang kemerdekaan dan memotivasi mantan muridnya bergabung dalam dinas militer. Ia terlibat dalam diskusi strategis dengan tokoh seperti Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno, menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin perempuan yang dihormati. Film Nyai Ahmad Dahlan (2017) dan Sang Pencerah (2010) berupaya mengenalkan kembali sosoknya, tetapi pengakuan nasional yang setara masih diperlukan. Bukti autentik dari dampaknya adalah keberadaan ribuan lembaga Aisyiyah yang terus berkembang, seperti TK Aisyiyah Bustanul Athfal, rumah sakit, dan panti asuhan, yang melayani jutaan masyarakat Indonesia.

Siti Walidah wafat pada 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, dengan penghormatan dari pemerintah. Pesannya sebelum wafat, “Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kiai Haji Ahmad Dahlan menitipkannya,” mencerminkan dedikasinya yang tak pernah padam. Dengan jumlah lembaga pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial Aisyiyah yang terus meningkat—24.000 lembaga pendidikan, ribuan fasilitas kesehatan, dan ratusan panti asuhan—Siti Walidah layak mendapat tempat lebih menonjol dalam sejarah Indonesia. Mengabadikan namanya dalam kurikulum pendidikan atau hari peringatan nasional dapat menjadi langkah untuk menghargai perjuangan seorang perempuan yang telah mengubah wajah pendidikan dan kesejahteraan Indonesia.


Diolah dari berbagai sumber. (Red)

Komentar

Tampilkan

Terkini